Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang yang merupakan HAK ASASI MANUSIA yang harus dihormati disatu pihak, dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak, yang harus dipertahankan untuk masyarakat, dari perbuatan jahat si-tersangka [“C’est l’ eternel conflit entre la liberte et l’autorite”, sebagaimana dikatakan oleh Larnaude dalam rede-nya tahun 1901]6.
Pemeriksaan perkara pidana diawali dengan kegiatan penyidikan, penyidik untuk kepentingan penyidikan dapat melakukan penahanan berdasarkan norma-norma hukum yang diatur dalam Pasal 20 sampai dengan 31 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 ( K ITAB UNDANG - UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ), Pasal 1 ayat ( 21 ) memberikan pengertian penahanan , sebagai berikut :
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Seperti diketahui, Pasal 7 ayat (1) butir dan Pasal 20 ayat (1) Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi kewenangan kepada penyidik untuk menahan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
SYARAT PENAHANAN
Syarat Penahanan terdiri :
1. 1. Syarat limitatif
yaitu syarat subjektif : ada kekhawatiran terdangka melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (pasal 20 ayat 1).
2. 2. Syarat Obyektif
Syarat objektif : dikenakan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan pasal-pasal tertentu dalam KUHP maupun diluarnya yang ditentukan pasal 21 ayat 4 butir b.
3 3 ( tiga) jenis penahanan yaitu :
1. 1. Penahanan rumah tahanan negara (rutan),
2. 2. Penahanan kota
PENJELASAN
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan mela - rikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi ( Un dang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Terima kasih,ini sangat membantu saya.....:)
BalasHapusThank you for the information, have a good day.
BalasHapus