Rabu, 08 Juni 2011

PERCERAIAN ( BAG 2 )

Surat-surat yang Harus Anda siapkan  dalam  Persiapan Pendaftaran  GUGATAN CERAI  DAN PERMOHONAN CERAI TALAK di Pengadilan AGAMA  DAN  PENGADILAN  NEGERI
  • Surat Nikah asli
  • Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai, kemudian dilegalisir
  • Foto kopi Akte Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai, juga dilegalisir
  • Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)
  • Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

Minggu, 05 Juni 2011

PERCERAIAN ( BAG. 1 )


Proses pengajuan   perceraian di pengadilan :
-     Pengadilan Agama  ( Umat muslim )

Pengadilan Agama hanya dapat memproses perceraian apabila salah satu pihak mengajukan permohonan cerai talak ataupun gugatan cerai

Permohonan Talak  atau  permohonan cerai  talak  dan “Gugatan Cerai”

Suatu perceraian harus diputuskan melalui Pengadilan Agama – dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan cerai talak  atau gugatan perceraian ( gugat cerai).                      

Apabila suami yang mengajukan perceraian, maka pengajuan itu dinamakan Permohonan CeraiTalak,                                                                                                                                                             Isteri  yang mengajukan maka pengajuan itu disebut Gugatan Cerai. Dalam Permohonan Talak, PEMOHON meminta kepada Pengadilan Agama untuk diadakan sidang pembacaan ikrar talak.
Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani  rumah tangga, perkawinan sering diwarnai pertengkaran terus menerus yand tidak dapat di damaikan, merasa tidak bahagia, ketidaksetiaan pasangan, atau masalah lainnya, Salah satu pihak selingkuh serta ada perbuatan Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan :   

-     HAK ASUH  ANAK ( termasuk dalam gugatan dituliskan atau dimintakan mengenai Pemberian biaya  pemeliharaan  untuk  anak  sampai  tersebut sampai selesai sekolah dan/atau  sampai anak tersebut dewasa dan/ atau menikah diluar pendidikan dan kesehatan yang diberikan langsung  kepada  Penggugat;
-     Membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan MIS : rumah, mobil, perabotan atau kontrak;

ATAU
 Perempuan mempunyai beberapa hak apabila terjadi perceraian


1.hak pemeliharaan dan pengasuhan anak  


Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, pengasuhan anak harus diserahkan kepada pihak ibu

2.nafkah isri

3.hadiah sebagai kenang-kenangan (bagi yang beragama Islam)

4.Nafkah anak

5.harta gono-gin
i


Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 9  Tahun 1975; Penggugat mohon agar Panitera/sekretaris Pengadilan Agama Tanggerang mengirimkan salinan putusan perkara ini yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan............... untuk dilakukan pencatatan pada sebuah buku daftar yang diperuntukkan untuk kepentingan tersebut

Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri berikut disampaikan tata cara perceraian sebagaimana diatur dan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR I TAHUN 1974
  • Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

Pasal 14

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan.
Pasal 19

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.            Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok,    
pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.     Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.     Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e.    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.     Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 20
(1)    Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(2)    Dalam hal kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(3)     Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 21
(1)    Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan  ditempat kediaman penggugat.
(2)    Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampaui 2 (dua) tahun terhitung sejak    tergugat meninggalkan rumah.
(3)     Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.



Pasal 22
(1)    Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman tergugat.

(2)   Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu.
Pasal 23

Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk rnendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakaan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 24

(1)    Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2)    Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat atau tergugat, Pengadilan dapat:

·        Undang – Undang  No. 1 Tahun  1974
BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :

a. kematian,
b.         perceraian dan

c.          atas keputusan Pengadilan.
 
  • KOMPILASI  HUKUM  ISLAM
Pasal 116

·        Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

·        a. salah  satu  pihak  berbuat  zina  atau  menjadi  pemabuk,  pemadat,  penjudi  dan lain  sebagainya  yang  sukar  disembuhkan;

·        b. salah  satu  pihak  meninggalkan  pihak  lain  selama  2  (dua)  tahun   berturut-turut  tanpa  izin  pihak  lain  dan tanpa  alas an  yang  sah  atau  karena  hal  lain  diluar kemampuannya;

·        c. salah  satu  pihak  mendapat  hukuman  penjara  5  (lima)  tahun  atau  hukuman yang  lebih  berat  setelah  perkawinan  berlangsung;

·        d. salah  satu  pihak  melakukan  kekejaman  atau  penganiayaan  berat  yang membahayakan pihak lain;

·        e. salah  satu  pihak  mendapat  cacat  badan  atau  penyakit  dengan  akibat  tidak dapat  menjalankan kewajibannya  sebagai  suami  atau  isteri;

·        f. antara  suami  dan  isteri  terus  menerus  terjadi  perselisihan  dan  pertengkaran dan  tidak  ada  harapan  akan  hidup  rukun  lagi  dalam  rumah  tangga;

·        g. Suami menlanggar taklik talak;

·        k. peralihan  agama  tau  murtad  yang  menyebabkan  terjadinya  ketidak rukunan dalam  rumah  tangga.     




-     Pengadilan Negeri. ( Umat non muslim)

PENAHANAN , SYARAT PENAHANAN

Hak asasi manusia sebagai hak yang diakui secara universal. Hak asasi manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindungi dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Perlindungan terhadap hak asasi manusia harus dilaksanakan secara proporsional tanpa mengorbankan hak masyarakat demi membela hak-hak individu yang berlebihan.

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan bergerak seseorang yang merupakan HAK ASASI MANUSIA yang harus dihormati disatu pihak, dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak, yang harus dipertahankan untuk masyarakat, dari perbuatan jahat si-tersangka [“C’est l’ eternel conflit entre la liberte et l’autorite”, sebagaimana dikatakan oleh Larnaude dalam rede-nya tahun 1901]6.

Pemeriksaan perkara pidana diawali dengan kegiatan penyidikan, penyidik untuk kepentingan penyidikan dapat melakukan penahanan berdasarkan norma-norma hukum yang diatur dalam Pasal 20 sampai dengan 31 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Menurut  Undang-Undang  No. 8  Tahun  1981  ( K ITAB  UNDANG - UNDANG  HUKUM   ACARA  PIDANA ),  Pasal  1  ayat  ( 21 )  memberikan  pengertian penahanan , sebagai berikut :

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.


Seperti diketahui,  Pasal 7 ayat (1) butir dan Pasal 20 ayat (1) Undang  - Undang  No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi kewenangan kepada penyidik untuk menahan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.

 
SYARAT   PENAHANAN


Syarat  Penahanan  terdiri   :

1.     1. Syarat  limitatif

yaitu syarat subjektif : ada kekhawatiran terdangka melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti  dan atau mengulangi tindak pidana (pasal 20 ayat 1).

2.     2. Syarat  Obyektif

Syarat objektif : dikenakan pada tindak  pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan pasal-pasal tertentu dalam KUHP maupun diluarnya yang ditentukan pasal 21 ayat 4 butir b.
Selain penyidik, penuntut umum dan hakim juga berwenang menahan tersangka/terdakwa  ( pasal 20 ayat 2 dan 3). 


  JENIS – JENIS  PENAHANAN
 
3       3  ( tiga) jenis penahanan yaitu :

1.     1. Penahanan rumah tahanan negara (rutan),
2.     2. Penahanan kota
3. Penahanan rumah (pasal 22 ayat 1).



PENJELASAN

                                                                       Pasal 7
 
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :

a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
 
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
 
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal  diri tersangka ;
 
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
 
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
 
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
 
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau  saksi;
 
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan  pemeriksaan perkara;
 
i. mengadakan penghentian penyidikan; 


Bagian Kedua
Penahanan


                                                                      Pasal 20
 

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
 

(2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.

(3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.



                                                                      Pasal 21

(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan mela - rikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.

(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.

(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa  yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :

a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal  296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal  372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal  459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi ( Un dang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976  tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).